Jumat, 23 Desember 2011

HUKUM "CHATTING"


بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِي

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته..الحمدلله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف المرسلين، وعلى اله وصحبه أجمعين


Keluargaku...... ada Penanya: Aku adalah seorang pemuda. Aku punya hobi ngenet (main internet) dan chatting (ngobrol). Aku hampir tidak pernah chatting dengan wanita. Jika terpaksa aku chatting dengan wanita maka aku tidaklah berbicara kecuali dalam hal yang baik-baik.

Kurang dari setahun lalu ada seorang gadis yang mengajak aku chatting lalu meminta no HP-ku. Aku katakan bahwa aku tidak mau menggunakan hp dan aku tidak ingin membuat Allah murka kepadaku.


Dia lalu mengatakan, “Engkau adalah seorang pemuda yang sopan dan berakhlak mulia. Aku akan bahagia jika kita bisa berkomunikasi secara langsung”. Kukatakan kepadanya, “Maaf aku tidak mau menggunakan HP”. Kemudian dia berkata dengan nada kesal, “Terserah kamu kalo gitu”.


Selama beberapa bulan kami hanya berhubungan melalui chatting. Suatu ketika dia mengatakan, “Aku ingin no HP-mu”. “Bukankah dulu sudah pernah kukatakan kepadamu bahwa aku tidak mau menggunakan HP”, jawabku. Dia lalu berjanji tidak akan menghubungiku kecuali ada hal yang mendesak. Kalau demikian aku sepakat.


Setelah itu selama tiga bulan dia tidak pernah menghubungiku. Akupun berdoa agar Allah menjadikannya bersama hamba-hamba-Nya yang shalih.


Tak lama kemudian ada seorang gadis kurang lebih berusia 16 tahun yang berakhlak dan sangat sopan menghubungi no HP-ku. Dia berkata dalam telepon, “Apa benar engkau bernama A?”. “Benar, apa yang bisa kubantu”, tanyaku. Dia mengatakan, “Fulanah, yaitu gadis yang telah kukenal via chatting, nitip salam untukmu”. “Salam kembali untuknya. Mengapa tidak dia sendiri yang menghubungiku?”, tanyaku. “Telepon rumahnya diawasi ketat oleh orang tuanya”, jawabnya.


Setelah orang tuanya kembali memberi kelonggaran, dia kembali menghubungiku. Kukatakan kepadanya, “Jangan sering telepon” namun dia selalu saja menghubungiku. Akan tetapi pembicaraan kami sebatas hal-hal yang baik-baik. Kami saling mengingatkan untuk melaksanakan shalat, puasa dan shalat malam.


Setelah beberapa waktu lamanya, dia berterus terang kalau dia jatuh cinta kepadaku dan aku sendiri juga sangat mencintainya. Aku juga berharap bisa menikahinya sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya karena dia adalah seorang gadis yang berakhlak, beradab dan taat beragama setelah aku tahu secara pasti bahwa aku adalah orang yang pertama kali melamarnya via telepon.


Akan tetapi empat bulan yang lewat, ayahnya memaksanya untuk menikah dengan saudara sepupunya sendiri karena ayahnya marah dengannya. Inilah awal masalah. Aku mulai sulit tidur. Kukatakan kepadanya, “Serahkan urusan kita kepada Allah. Kita tidak boleh menentang takdir”. Namun dia meski sudah menikah tetap saja menghubungiku. Kukatakan kepadanya, “Haram bagimu untuk menghubungiku karena engkau sudah menjadi istri seseorang”.


Yang jadi permasalahan, bolehkah dia menghubungiku via HP sedangkan dia telah menjadi istri seseorang? Allah-lah yang menjadi saksi bahwa pembicaraanku dengannya sebatas hal yang baik-baik. Kami saling mengingatkan untuk menambah ketaatan terlebih lagi ayahnya memaksanya untuk menikah dengan dengan lelaki yang tidak dia cintai.


Jawab:

Saling menelepon antar lawan jenis itu tidaklah diperbolehkan secara mutlak baik pihak wanita sudah bersuami maupun belum. Bahkan ini adalah tipu daya Iblis.


Engkau katakan bahwa tidak ada hubungan antaramu dengan dia selain saling menasehati dan mengajak untuk melakukan amal shalih. Perhatikan bagaimana masalah cinta dan yang lainnya menyusup melalui hal ini. Bukankah engkau tadi mengatakan bahwa engkau mencintainya dan diapun mencintaimu sedangkan katamu topik pembicaraanmu hanya seputar amal shalih? Kami tahu sendiri beberapa pemuda yang semula sangat taat beragama berubah menjadi menyimpang gara-gara hal ini.


Wahai saudaraku bertakwalah kepada Allah. Jauhilah perkara ini. Cara-cara seperti ini lebih berbahaya dari pada cara-cara orang fasik yang secara terang-terangan ngobrol dengan perempuan dengan tujuan-tujuan yang tidak terpuji. Mereka sadar bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah maksiat. Sadar bahwa perkara itu adalah keliru merupakan awal langkah untuk memperbaiki diri.


Sedangkan dirimu tidak demikian bahkan bisa jadi engkau menganggapnya sebagai sebuah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah.


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah kutinggalkan suatu ujian yang lebih berat bagi laki-laki melebihi wanita” (HR Bukhari no 4808 dan Muslim no 2740 dari Usamah bin Zaid).


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِى النِّسَاءِ

“Sesungguhnya awal kebinasaan Bani Israil adalah disebabkan masalah wanita” (HR Muslim no 7124 dari Abu Sa’id Al Khudry).


Perempuan yang mengajakmu ngobrol dengan berbagai obrolan ini padahal tidak ada hubungan kekerabatan antara dirimu dengannya adalah suatu yang haram. Hati-hatilah dengan cara-cara seperti ini. Semoga Allah menjadikanmu sebagai salah seorang hamba-Nya yang shalih.


Tanya: Sekiranya jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah tidak boleh apakah boleh dia mengajakku ngobrol via chatting?


Jawab:

Wahai saudaraku, hal ini tidaklah dibolehkan. Hubunganmu dengannya semula adalah chatting lalu berkembang menjadi komunikasi langsung via telepon dan puncaknya adalah ungkapan cinta. Apakah hanya akan berhenti di sini?


Semua hal ini adalah tipu daya Iblis untuk menjerumuskan kaum muslimin dalam hal-hal yang haram. Bersyukurlah kepada Allah karena Dia masih menyelamatkanmu. Bertakwalah kepada Allah, jangan ulangi lagi baik dengan perempuan tersebut ataupun dengan yang lain.


Tanya: Apa hukum seorang laki-laki yang chatting dengan seorang perempuan via internet dan yang dibicarakan adalah hal yang baik-baik?

Jawab:

Tidak ada seorangpun yang bisa mengeluarkan fatwa yang bersifat umum untuk permasalahan semisal ini karena ada banyak hal yang harus dipertimbangkan masak-masak. Fatwa yang bisa saya sampaikan kepadamu adalah obrolan dengan lawan jenis yang semisal kau lakukan adalah tidak diperbolehkan. Bukti nyata untuk hal ini adalah apa yang engkau ceritakan sendiri bahwa hubunganmu dengan perempuan tersebut terus berkembang ke arah yang terlarang.


(Dinukil dan diterjemahkan dari Majmu Fatawa Al Adab karya Nashir bin Hamd Al Fahd).

Lampiran:

Berikut kami lampirkan Fatwa Teks Asli berbahasa Arab, sbb:
(مخاطبة الأجنبية عبر الإنترنت) انا شاب من هوات الانترنت والمحادثة ولله الحمد لا اتكلم مع البنات الا نادر واذا تكلمة لا اتكلم الا فيما يرضي الله عز وجل لا اقول ما يغضب الله وكله في حدود الله وقبل اقل من عام كلمتني بنت وطلبت رقم الهاتف الخاص بي فاجبتها بانني لا استخدم الهاتف ولا احب ان اغضب ربي علي فقالت لي انك شخص مؤدب خلوق وسوف اسعد لو احببتني واحببتك واكملنى حياتنى مع بعض فقلت لها لا اسف لا استخدم الهاتف فقالت كما تريد ومع مرور الايام والاشهر وكل حديثنى مجرد كتابه في المحادثة فقط بعد حوالي شهر قالت لي اريد رقم الهاتف الخاص بك قلت لها لقد اجبتك من قبل قالت ارجوك اتركه معي للزمن واوعدك ان لا اتصل بك الا اذا لزم الامر! فقلت اتفقنى….بعد 3 شهور اختفت ودعيت الله ان يجعلها مهع عباده الصالحين….وبعد فترة من الزمن جائني اتصال قريبب من بنت عمرها 16 سنه خلوقة مؤدبه تتكلم وترتجف!! فقلت نعم قالت انت فلان قلت نعم بم اخدمك قالت فلانه تسلم عليك! تقصد البنت التي كنت قد عرفتها في الانترنت قلت عليك وعليها تحية الاسلام ولماذا لم تتصل قالت تلفون بيتها مراقب….ثم انصرفت فعاودة الاتصال فاحرجة انت اقو لها لا تتصلي فقامت تتصل و تتصل وكل كلامنى في حدود الله وكنى نحث بعض على الصلاة والصوم وقيام الليل وبعد فترة من الزمن صارحتني بحبها لي…ولا اكذب عليك لقد احببتها حب كبير وكنت اتمنى ان اتزوجها على سنة الله ورسوله لما رايته فيها من ادب واخلاق ودين وبعد ان تاكدت انني اول من خاطبته في التلفون ولكن قبل 4 شهور جبرها ابوها على ان تتزوج ابن عمها غصب عنها! وهنا بدات الماساه حيث كرهت النوم فقلت لها سلمي امرك وامري الى الله اللهم لا اعتراض فقامت تتصل بي فقلت لها انه حرام لانك على ذمت رجل اخر السؤال: هل من الممكن ان تكلمني في الهاتف؟ وهي على ذمت رجل والله ادرى ان كلامنى في حدود الله ونحث بعض على زيادة الدين ومع العلم ان اباها جبرها على الزواج غصب عنها ج/ لا يجوز هذا مطلقا ، سواء كانت على ذمة رجل أو لا ، بل هذه من خدع إبليس أن تقول ليس بيني وبينها إلا التناصح والحث على الأعمال الصالحة ، وانظر كيف دخلت مسائل -الحب- وغيرها هنا ، ألا تخبرنا : -كيف أحببتها وأحبتك- وأنتم حديثكم عن الأعمال الصالحة؟ ونحن نعرف شبابا من خيرة الشباب انتكسوا من الالتزام إلى الانحراف بسبب هذه الأمور. أيها الأخ الكريم اتق الله وإياك وهذه المسالك فإنها أخطر من مسالك الفساق الذين يتحدثون صراحة مع النساء لأغراض سيئة لأن أولئك يعلمون ما هم فيه من معصية ومعرفة الداء طريق الدواء، وأما أنت فلا ، بل قد تظنه قربة ، وقد قال الرسول صلى الله عليه وسلم -ما تركت بعدي فتنة هي أضر على الرجال من النساء وإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء- والمرأة التي تحدثك هذه الأحاديث وليس بينك وبينها قرابة محرمة تحدث غيرك، فإياك ثم إياك من مثل هذه الطرق ، جعلك الله من عباده الصالحين س/ واذا كان الجواب لا هل من الممكن ان تكلمني في الانترنت مجرد كتابه؟ ج/ هذا لا يجوز أخي الكريم ، وعلاقتك معها تطورت من الكتابة في الإنترنت إلى التخاطب في الهاتف إلى التصريح بالحب ، وهل ستتوقف عند هذا؟، وهذا كله طريق لإبليس لإيقاع المسلمين في المحرمات ، فاحمد الله على سلامتك واتق الله ولا تعد الكرة معها ولا مع غيرها س/ وما حكم الرجل اذا خاطب بنت في الانترنت مجرد كتابه في حدود شرع الله عز وجل ؟ ج/ لا يستطيع أحد أن يصدر فتوى عامة في مثل هذا الموضوع لأن هذا كله يخضع لأمور كثيرة، ولكن الذي أستطيع إفتاءك به هو أن ما كان من جنس عملك هذا في التخاطب معهن فهو لا يجوز ، وأعظم الأدلة على ذلك ما ذكرته أنت في تطور علاقتك بإحداهن


Oleh : Syaikh Nashir bin Hamd Al Fahd

Sumber: http://atsarussalaf.wordpress.com/2010/02/26/hukum-chatting-ngobrol-antar-lawan-jenis-via-internet/

Baca Selengkapnya... - HUKUM "CHATTING"

Kamis, 22 Desember 2011

SIAPA SAJA MAHRAM / MUHRIM ITU……… ?

بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته..الحمدلله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف المرسلين، وعلى اله وصحبه أجمعين

Keluargaku....Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun, mimnya di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah mahramun, mimnya di-fathah.

Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.

Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan), mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan).
Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada tujuh golongan:

1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7. Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” (An-Nisa: 23)

Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (An-Nisa 23)

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama. Maka ayat ini dan hadits yang marfu’:

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas),

keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak (orang tua) susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.

Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.
Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.

Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233)

Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.

Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.

Adapun kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23.
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.

Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri). Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.

Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.
Selain yang disebutkan di atas, maka bukan mahram. Jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.

Begitu pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ
“Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama).” (An-Nisa: 23)

Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu muttafaqun ‘alihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab.

(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Syarhul Mumti’, 5/168-210)

Penulis : Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=162
Baca Selengkapnya... - SIAPA SAJA MAHRAM / MUHRIM ITU……… ?

Senin, 04 April 2011

SIFAT 20 (SIFAT ALLAH SWT)

Keluargaku.........., Ilmu Tauhid (Aqidah/Iman) adalah hal yang paling penting yang harus dipelajari setiap Muslim। Bahkan harus dipelajari lebih dulu sebelum kita mempelajari/melakukan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Bagaimana kita bisa tergerak untuk melakukan ibadah jika dalam hati kita tidak ada iman? Bagaimana kita bisa ikhlas dan khusyuk beribadah jika kita tidak tahu/tidak yakin akan Allah dan sifat-sifatNya?

Banyaknya ummat Islam di Indonesia yang menjadi murtad itu karena mereka nyaris tidak mempelajari dan meyakini ilmu Tauhid sehingga akhirnya tidak tahu Sifat-sifat Tuhan yang asli/sejati. Akhirnya mereka menyembah Tuhan yang sifatnya berlawanan dari sifat Allah seperti menyembah 3 Tuhan dan sebagainya.

Pada Ilmu Tauhid ini diasumsikan orang belum memiliki iman yang kuat kepada Allah, apalagi Al Qur’an. Oleh karena itu dalilnya pun yang pertama dipakai adalah dalil Aqli (Akal/Logika). Setelah beriman, yang kedua baru dalil Naqli (Al Qur’an & hadits) dikemukakan. Pada ilmu tentang Iman, maka Akal harus digunakan. Ada pun jika sudah beriman dan mengenai fiqih misalnya kenapa kalau kentut bukan (maaf) pantat yang dibasuh, tapi harus mencuci anggota badan lainnya, maka dalil Naqli (Al Qur’an dan Hadits) yang harus dipakai. Pada Tauhid, Aqli harus dipakai. Pada Fiqih, Naqli yang dipakai.

Karena itulah Allah dalam Al Qur’an juga kerap menggunakan dalil Akal/Logika kepada kaum yang kafir atau imannya masih lemah. Hanya orang yang berakal saja yang dapat pelajaran.

“…Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran 7]

Allah juga kerap memakai ilmu pengetahuan seperti penciptaan langit dan bumi sebagai tanda bagi orang yang berakal:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [Ali ‘Imran 190]

“dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” [Al Jaatsiyah 5]

Lihat ayat Al Waaqi’ah ayat 58 hingga 72. Allah menggunakan logika kepada manusia (termasuk kita yang membaca surat tersebut) agar menggunakan akal kita:

“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” [Al Waaqi’ah 58-59]

“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?” [Al Waaqi’ah 72]

Allah menggunakan logika dan perumpamaan-perumpamaan (Tamtsil/Ibarat) agar orang yang berakal/berilmu meski dia belum beriman jadi berfikir dan beriman kepada Allah.

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” [Al ‘Ankabuut 43]

Baca juga ayat Al Hasyr 21, Al Kahfi 45, Al Kahfi 54, Ar Ruum 58, Az Zumar 27, dsb. Ada 58 ayat lebih tentang perumpamaan yang dikenal sebagai logika analogi.

Contoh perumpamaan itu adalah ayat Al A’raaf 176, Al ‘Ankabuut 41, Al Baqarah 17, Al Baqarah 171, Al Baqarah 261, Al Baqarah 264, dan sebagainya.
Keliru sekali jika ada orang yang menolak sama sekali penggunaan dalil Akal atau Logika apalagi jika itu ditujukan pada orang yang belum atau masih tipis imannya. Karena itu, banyak orang-orang yang dulunya kafir, akhirnya masuk Islam. Bayangkan, bagaimana mungkin orang mau mempercayai Al Qur’an (firman Allah) jika kepada Allah saja dia belum beriman? Karena itulah pendekatan akal digunakan.

Berbagai firman Allah seperti Afalaa Ta’qiluun, La’allakum Tatafakkaruun, Ulil Albaab merupakan perintah Allah pada manusia untuk menggunakan akal atau fikiran termasuk dalam beragama.

Sifat Allah itu banyak/tidak terhitung. Namun seandainya ditulis 1 juta, 1 milyar, atau 1 trilyun, tentu kita tidak akan sanggup mempelajarinya bukan? Seorang ulama menulis 20 sifat yang wajib (artinya harus ada) pada Tuhan/Allah. Jika tidak memiliki sifat itu, berarti dia bukan Tuhan atau Allah. Minimal kita bisa memahami dan meyakini 13 dari sifat tersebut agar tidak tersesat. Setelah itu kita bisa mempelajari sifat Allah lainnya dalam Ama’ul Husna (99 Nama Allah yang Baik)

Sifat-sifat itu adalah:

1. Wujud (ada)

Allah itu Wujud (ada). Tidak mungkin/mustahil Allah itu ‘Adam (tidak ada).
Memang sulit membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Tapi jika kita melihat pesawat terbang, mobil, TV, dan lain-lain, sangat tidak masuk akal jika kita berkata semua itu terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pembuatnya.

Jika benda-benda yang sederhana seperti korek api saja ada pembuatnya, apalagi dunia yang jauh lebih komplek.

Bumi yang sekarang didiami oleh sekitar 8 milyar manusia, keliling lingkarannya sekitar 40 ribu kilometer panjangnya. Matahari, keliling lingkarannya sekitar 4,3 juta kilometer panjangnya. Matahari, dan 8 planetnya yang tergabung dalam Sistem Tata Surya, tergabung dalam galaksi Bima Sakti yang panjangnya sekitar 100 ribu tahun cahaya (kecepatan cahaya=300 ribu kilometer/detik!) bersama sekitar 100 milyar bintang lainnya. Galaksi Bima Sakti, hanyalah 1 galaksi di antara ribuan galaksi lainnya yang tergabung dalam 1 “Cluster”. Cluster ini bersama ribuan Cluster lainnya membentuk 1 Super Cluster. Sementara ribuan Super Cluster ini akhirnya membentuk “Jagad Raya” (Universe) yang bentangannya sejauh 30 Milyar Tahun Cahaya!

Harap diingat, angka 30 Milyar Tahun Cahaya baru angka estimasi saat ini, karena jarak pandang teleskop tercanggih baru sampai 15 Milyar Tahun Cahaya.

Bayangkan, jika jarak bumi dengan matahari yang 150 juta kilometer ditempuh oleh cahaya hanya dalam 8 menit, maka seluruh Jagad Raya baru bisa ditempuh selama 30 milyar tahun cahaya. Itulah kebesaran ciptaan Allah! Jika kita yakin akan kebesaran ciptaan Tuhan, maka hendaknya kita lebih meyakini lagi kebesaran penciptanya.

Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bintang, matahari, bulan, dan lain-lain:

“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” [Al Furqoon:61]

Karena kita tidak bisa melihat Tuhan, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Tuhan ada. Meski kita tidak bisa melihatNya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya.” Pernyataan bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena panca indera manusia tidak bisa mengetahui keberadaan Tuhan adalah pernyataan yang keliru.

Berapa banyak benda yang tidak bisa dilihat atau didengar manusia, tapi pada kenyataannya benda itu ada?

Betapa banyak benda langit yang jaraknya milyaran, bahkan mungkin trilyunan cahaya yang tidak pernah dilihat manusia, tapi benda itu sebenarnya ada?

Berapa banyak zakat berukuran molekul, bahkan nukleus (rambut dibelah 1 juta), sehingga manusia tak bisa melihatnya, ternyata benda itu ada? (manusia baru bisa melihatnya jika meletakkan benda tersebut di bawah mikroskop yang amat kuat).

Berapa banyak gelombang (entah radio, elektromagnetik. Listrik, dan lain-lain) yang tak bisa dilihat, tapi ternyata hal itu ada?

Benda itu ada, tapi panca indera manusia lah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaannya.

Kemampuan manusia untuk melihat warna hanya terbatas pada beberapa frekuensi tertentu, demikian pula suara. Terkadang sinar yang amat menyilaukan bukan saja tak dapat dilihat, tapi dapat membutakan manusia. Demikian pula suara dengan frekuensi dan kekerasan tertentu selain ada yang tak bisa didengar juga ada yang mampu menghancurkan pendengaran manusia. Jika untuk mengetahui keberadaan ciptaan Allah saja manusia sudah mengalami kesulitan, apalagi untuk mengetahui keberadaan Sang Maha Pencipta!

Ada jutaan orang yang mengatur lalu lintas jalan raya, laut, dan udara. Mercusuar sebagai penunjuk arah di bangun, demikian pula lampu merah dan radar. Menara kontrol bandara mengatur lalu lintas laut dan udara. Sementara tiap kendaraan ada pengemudinya. Bahkan untuk pesawat terbang ada Pilot dan Co-pilot, sementara di kapal laut ada Kapten, juru mudi, dan lain-lain. Toh, ribuan kecelakaan selalu terjadi di darat, laut, dan udara. Meski ada yang mengatur, tetap terjadi kecelakaan lalu lintas.

Sebaliknya, bumi, matahari, bulan, bintang, dan lain-lain selalu beredar selama milyaran tahun lebih (umur bumi diperkirakan sekitar 4,5 milyar tahun) tanpa ada tabrakan. Selama milyaran tahun, tidak pernah bumi menabrak bulan, atau bulan menabrak matahari. Padahal tidak ada rambu-rambu jalan, polisi, atau pun pilot yang mengendarai. Tanpa ada Tuhan yang Maha Mengatur, tidak mungkin semua itu terjadi. Semua itu terjadi karena adanya Tuhan yang Maha Pengatur. Allah yang telah menetapkan tempat-tempat perjalanan (orbit) bagi masing-masing benda tersebut. Jika kita sungguh-sungguh memikirkan hal ini, tentu kita yakin bahwa Tuhan itu ada.

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” [Yunus:5]

“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” [Yaa Siin:40]

Sungguhnya orang-orang yang memikirkan alam, insya Allah akan yakin bahwa Tuhan itu ada:

“Allah lah Yang meninggi-kan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia berse-mayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” [Ar Ra’d:2]

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [Ali Imron:191]

Artikel lengkap tentang Bukti Tuhan itu Ada dapat anda lihat di www.media-islam.or.id

Hikmah: Kunci Iman menyembah Allah. Kalau orang tidak mempercayai Allah itu ada, maka dia adalah Atheist. Tidak mungkin bisa ikhlas dan khusyu’ menyembah Allah.

2. Qidam (Terdahulu)

Allah itu Qidam (Terdahulu). Mustahil Allah itu Huduts (Baru).

“Dialah Yang Awal …” [Al Hadiid:3]

Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Allah yang menciptakan langit, bumi, serta seluruh isinya termasuk tumbuhan, binatang, dan juga manusia.
“Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu..?” [Al Mu'min:62]

Oleh karena itu, Allah adalah awal. Dia sudah ada jauh sebelum langit, bumi, tumbuhan, binatang, dan manusia lainnya ada. Tidak mungkin Tuhan itu baru ada atau lahir setelah makhluk lainnya ada.

Sebagai contoh, tidak mungkin lukisan Monalisa ada lebih dulu sebelum pelukis yang melukisnya, yaitu Leonardo Da Vinci. Demikian juga Tuhan. Tidak mungkin makhluk ciptaannya muncul lebih dulu, kemudian baru muncul Tuhan.

3. Baqo’ (Kekal)

Allah itu Baqo’ (Kekal). Tidak mungkin Allah itu Fana’ (Binasa).
Allah sebagai Tuhan Semesta Alam itu hidup terus menerus. Kekal abadi mengurus makhluk ciptaannya. Jika Tuhan itu Fana’ atau mati, bagaimana nasib ciptaannya seperti manusia?

“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati…” [Al Furqon 58]

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [Ar Rahman:26-27]

Karena itu jika ada “Tuhan” yang wafat atau mati, maka itu bukan Tuhan. Tapi manusia biasa.

Hikmah: Jika kita mencintai Allah yang Maha Kekal dan selalu ada dan menjadikanNya teman serta pelindung, niscaya kita akan tetap sabar meski kehilangan segala yang kita cintai.

4. Mukhollafatuhu lil hawaadits (Tidak Serupa dengan MakhlukNya)

Allah itu berbeda dengan makhlukNya (Mukhollafatuhu lil hawaadits). Mustahil Allah itu sama dengan makhlukNya (Mumaatsalaatuhu lil Hawaadits). Kalau sama dengan makhluknya misalnya sama lemahnya dengan manusia, niscaya “Tuhan” itu bisa mati dikeroyok atau disalib oleh manusia. Mustahil jika “Tuhan” itu dilahirkan, menyusui, buang air, tidur, dan sebagainya. Itu adalah manusia. Bukan Tuhan!

Allah itu Maha Besar. Maha Kuasa. Maha Perkasa. Maha Hebat. Dan segala Maha-maha yang bagus lainnya.

“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…” [Asy Syuura:11]

Misalnya sifat “Hidup” Allah beda dengan sifat “Hidup” makhluknya. Allah itu dari dulu, sekarang, kiamat, dan hingga hari akhirat nanti tetap hidup. Sebaliknya makhluknya seperti manusia dulu mati (tidak ada). Setelah itu baru dilahirkan dan hidup. Namun itu pun hanya sebentar. Paling lama 1000 tahun. Setelah itu mati lagi dan dikubur. Jadi meski sekilas sama, namun sifat “Hidup” Allah beda dengan makhlukNya.

Demikian juga dengan sifat lain seperti “Kuat.” Allah selalu kuat dan kekuatannya bisa menghancurkan alam semesta. Sementara manusia itu dulu ketika bayi lemah dan ketika mati juga tidak berdaya. Saat hidup pun jika kena tsunami atau gempa apalagi kiamat, dia akan mati.

5. Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya)

Allah itu Qiyamuhi Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya). Mustahil Allah itu Iftiqoorullah (Berhajat/butuh) pada makhluknya.

“.. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Al ‘Ankabuut:6]

“Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” [Al Israa’ 111]

Di dunia ini, semua orang saling membutuhkan. Bahkan seorang raja pun butuh penjahit pakaian agar dia tidak telanjang. Dia butuh pembuat bangunan agar istananya bisa berdiri. Dia butuh tukang masak agar bisa makan. Dia butuh pengawal agar tidak mati dibunuh orang. Dia butuh dokter jika dia sakit. Saat bayi, dia butuh susu ibunya, dan sebagainya.

Sebaliknya Allah berdiri sendiri. Dia tidak butuh makhluknya. Seandainya seluruh makhluk memujiNya, niscaya tidak bertambah sedikitpun kemuliaanNya. Sebaliknya jika seluruh makhluk menghinaNya, tidaklah berkurang sedikitpun kemuliaanNya.

“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” [ Faathir 15]
Hikmah: Tidak sombong dan memohon hanya kepada Allah. Karena Manusia ketika lahir butuh bantuan. Demikian pula ketika mati meski dia kaya dan berkuasa

6. Wahdaaniyah (Esa)

Allah itu Wahdaaniyah (Esa/Satu). Mustahil Allah itu banyak (Ta’addud) seperti 2, 3, 4, dan seterusnya.

Allah itu Maha Kuasa. Jika ada sekutuNya, maka Dia bukan yang Maha Kuasa lagi. Jika satu Tuhan Maha Pencipta, maka Tuhan yang lain kekuasaannya terbatas karena bukan Maha Pencipta.

”Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu” [Al Mu’minuun:91]

Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” [Al Ikhlas:1-4]

Oleh karena itu, ummat Islam harus menyembah Tuhan Yang Maha Esa/Satu, yaitu Allah. Tidak pantas bagi ummat Islam untuk menyembah Tuhan selain Allah seperti Tuhan Bapa, Tuhan Anak, Roh Kudus. Tidak pantas juga bagi ummat Islam untuk menyembah 3 Tuhan di mana satu adalah yang Menciptakan, satu lagi yang merusak, dan terakhir yang memelihara.

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An Nisaa’:48]

Hikmah: Tidak mempersekutukan Allah

7. Qudrat (Kuasa)

Sifat Tuhan yang lain adalah Qudrat atau Maha Kuasa. Tidak mungkin Tuhan itu ‘Ajaz atau lemah. Jika lemah sehingga misalnya bisa ditangkap, disiksa, dan disalib, maka itu bukan Tuhan yang sesungguhnya. Hanya manusia biasa.

”… Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” [Al Baqarah:20]

”Jika Dia kehendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian tidak sulit bagi Allah.” [Fathiir:16-17]

Hikmah: menyadari kekuasaan Allah dan tawakal kepada Allah.

8. Iroodah (Berkehendak)

Sifat Allah adalah Iroodah (Maha Berkehendak). Allah melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Mustahil Allah itu Karoohah (Melakukan sesuatu dengan terpaksa).

“…Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” [Huud:107]

“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak untuk menciptakan sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” Lalu jadilah ia.” [Al Baqarah:117]

“…Katakanlah : “Maka siapakah yang dapat menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al Fath:11]

Hikmah: tawakal kepada Allah dan selalu berdoa kepada Allah

9. Ilmu (Mengetahui)

Allah itu berilmu (Maha Mengetahui). Mustahil Allah itu Jahal (Bodoh). Allah Maha Mengetahui karena Dialah yang menciptakan segala sesuatu.
Sedangkan manusia tahu bukan karena menciptakan, tapi sekedar melihat, mendengar, dan mengamati. Itu pun terbatas pengetahuannya sehingga manusia tetap saja tidak mampu menciptakan meski hanya seekor lalat.

“Dan Allah memiliki kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” [Al An’aam:59]

“Katakanlah: Sekiranya lautan jadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis ditulis kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu.” [Al Kahfi:109]

“Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’:176]

10. Hayaat (Hidup)

Allah itu Hayaat (Maha Hidup). Tidak mungkin Tuhan itu Maut (Mati). Jika Tuhan mati, maka bubarlah dunia ini. Tidak patut lagi dia disembah. Maha Suci Allah dari kematian/wafat.

“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup kekal Yang tidak mati…” [Al Furqaan:58]

11. Sama’ (Mendengar)

Allah bersifat Sama’ (Maha Mendengar). Mustahil Tuhan bersifat Shomam (Tuli).

Allah Maha Mendengar. Mustahil Allah tuli.

“… Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah:256]

12. Bashor (Melihat)

Allah bersifat Melihat. Mustahil Allah itu ‘Amaa (Buta).

“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al Hujuraat:18]

Hikmah: takut berbuat dosa karena Allah selalu melihat kita

Lebih jauh tentang Sifat Bashor bisa anda lihat di:

http://media-islam.or.id/2010/05/04/allah-maha-melihat-bashor

13. Kalam

Allah bersifat Kalam (Berkata-kata). Mustahil Allah itu Bakam (Bisu)

“…Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” [An Nisaa’ 164]
Jika kita meyakini ini, tentu kita tidak akan menyembah berhala yang tidak bisa bicara sebagai Tuhan [Al Anbiyaa’ 63-65]

Demikianlah sifat-sifat Allah yang penting yang wajib kita ketahui agar kita tahu mana Tuhan yang asli dan mana yang bukan.

Jika sifat-sifat Tuhan itu kita pahami dan yakini, niscaya kita tidak akan menyembah 3 Tuhan atau Tuhan yang Mati atau Tuhan yang Lemah, dan sebagainya. Kita hanya mau menyembah Allah yang memiliki sifat-sifat di atas dengan sempurna.

Ada pun sifat-sifat ke 14-20 sesungguhnya merupakan bentuk Subyektif/Pelaku dari Sifat nomor 7-13 yaitu:

14. Qoodirun: Yang Memiliki sifat Qudrat
15. Muriidun: Yang Memiliki Sifat Iroodah
16. ‘Aalimun: Yang Mempunyai Ilmu
17. Hayyun: yang Hidup
18. Samii’un: Yang Mendengar
19. Bashiirun: Yang Melihat
20. Mutakallimun: Yang Berkata-kata

Insya Allah semua sifat-sifat Allah itu berdasarkan dalil Al Qur’an yang kuat jadi harus kita yakini kebenarannya. Ilmu Tauhid ini begitu penting. Sebab itu cetaklah dan sebarkanlah pada keluarga dan teman-teman anda untuk memperkuat aqidah mereka.

Sebagai manusia tentu tulisan ini tak lepas dari lupa dan salah. Insya Allah perbaikan dan penyempurnaan bisa anda dapatkan di www.media-islam.or.id

Referensi:

  • Pelajaran Tauhid, Yayasan Pendidikan Agama dan Bahasa Arab An Nur, Kp. Jatijajar II Rt 05/08 No. 1 Cimanggis Depok, Telpon: 021-8747519
  • Ceramah Ustad Mohammad Hidayat MBA, di Masjid At Taubah Kebon Nanas Selatan, Otista, Jakarta Timur.
Baca Selengkapnya... - SIFAT 20 (SIFAT ALLAH SWT)

Kamis, 31 Maret 2011

MENGAKTIFKAN INDERA KEENAM UNTUK MELIHAT ALLAH SWT

Dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya.

(QS. Al-Israa’ [17]: 72)

Keluargaku........, Mendengar kata ‘indera keenam’ pasti yang terbayang dalam benak kita adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan tinggi, sakti mandraguna, bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat, dan bisa merasakan apa yang orang lain tidak rasakan. Manusia sebenarnya memiliki enam indera. Namun yang kita tahu selama ini hanyalah lima indera saja atau yang biasa disebut ‘panca indera’. Fungsi dan mekanisme kerja indera keenam dan panca indera sangat berbeda.

Panca indera terdiri dari mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Mata, digunakan untuk melihat. Hanya dapat melihat sesuatu apabila ada cahaya. Secara fisika, benda dapat kita lihat karena benda tersebut memantulkan cahaya ke mata kita. Jika tidak ada pantulan cahaya, meskipun di depan kita ada suatu benda, benda tersebut tidak akan bisa kita lihat. Misalnya dalam kegelapan, kita bahkan tidak akan mampu melihat tangan kita sendiri. Maka bersyukurlah kepada Allah SWT karena diberikannya sinar atau cahaya.
Indera penglihatan ini memiliki keterbatasan. Ia hanya mampu melihat jika ada pantulan cahaya pada frekuensi 10 pangkat 14 Hz. Mata tidak bisa melihat benda yang terlalu jauh. Tidak bisa melihat benda yang terlampau kecil seperti sel-sel ataupun bakteri. Tidak bisa melihat benda yang ada dibalik tembok. Bahkan mata kita sering ‘tertipu’ dengan berbagai kejadian. Misalnya pada siang hari yang terik, dari kejauhan terlihat air yang mengeluarkan uap di atas jalan beraspal. Namun apabila kita mendekat ternyata yang kita lihat tidak benar adanya. Ini yang kita sebut fatamorgana. Tipuan lain adalah pembiasan benda lurus dalam air, sehingga benda tersebut kelihatan bengkok. Bintang yang kita lihat di langit sangat kecil ternyata sungguh sangat besar, dan lebih besar dari bumi yang kita tempati.

Penglihatan oleh mata kita sangat kondisional, seringkali tidak ‘menceritakan’ keadaan yang sesungguhnya pada otak kita. Bukti-bukti di atas memberikan gambaran bahwa indera mata kita mengalami distorsi alias penyimpangan yang sangat besar. Namun, mata inilah yang kita gunakan untuk melihat dan memahami dunia nyata yang ada di luar diri kita. Matapun tidak bisa melihat apa yang ada dalam diri kita dan yang ada dalam diri orang lain. Apa yang orang lain pikirkan dan rasakan tidak bisa dilihat oleh mata. Mata sungguh sangat terbatas.

Namun keterbatasan ini harus pula kita syukuri. Bayangkan saja apabila mata kita bisa melihat benda yang ukurannya mikroskopis seperti bakteri ataupun jamur. Maka kita tidak akan bisa makan dengan tenang dan nikmat, sebab semua makanan yang kita makan mengandung bakteri dan jamur yang bentuknya sangat menyeramkan. Satu menit saja kita menyimpan makanan dalam keadaan terbuka maka jamur dan bakteri sudah ada pada makanan tersebut. Atau seandainya mata kita tidak terbatas, maka kita akan bisa melihat setan-setan dan jin-jin yang berkeliaran di sekitar kita, dapat melihat orang di balik tembok, dapat melihat proses pencernaan yang terjadi dalam tubuh kita sendiri sehingga menjadi kotoran. Sungguh kehidupan kita akan sangat menyeramkan.

Indera selanjutnya adalah telinga
. Ia merupakan organ tubuh yang digunakan untuk mendengarkan suara. Telinga hanya bisa mendengar suara pada frekuensi 20 s/d 20 ribu Hz. Suara yang memiliki frekuensi tersebut akan menggetarkan gendang telinga kita, untuk kemudian diteruskan ke otak oleh saraf-saraf pendengar. Hasil dari interpretasi otak, suara dapat ditandai dan dikerahui. Apabila suara getarannya dibawah 20 Hz maka suara tidak bisa didengar, dan apabila melebihi 20 ribu Hz maka suarapun tidak akan mampu didengar dan bahkan gendang telinga akan pecah alias rusak.
Pada intinya telinga kitapun memiliki keterbatasan layaknya mata. Allah SWT memberikan batasan pendengaran pada kita sebagai karunia dan rahmat yang harus pula kita syukuri. Bayangkan saja jika pendengaran kita tidak dibatasi, maka kita akan bisa mendengarkan suara-suara binatang malam, juga kita bisa mendengarkan suara jin sedang bercakap-cakap, dan lain sebagainya, maka hidup kitapun tidak akan tenang.

Indera yang ketiga adalah hidung
. Indera ini digunakan untuk merasakan bau. Di dalam rongga hidung terdapat saraf-saraf yang akan menerima rangsangan bau yang masuk. Selanjutnya saraf menghantarkannya ke otak untuk diterjemahkan. Sebagaimana mata dan telinga, hidung juga memiliki keterbatasan kemampuan. Misalnya, apabila hidung kita menerima aroma makanan yang terlalu pedas maka kita akan bersin-bersin. Apabila hidung sering merasakan bau busuk maka kepekaannya terhadap bau busuk akan hilang. Misalnya kita tinggal di lingkungan yang banyak sampah berbau busuk. Awalnya kita amat terganggu dan tidak tahan dengan bau tersebut, namun lama kelamaan kita tidak akan merasakan bau busuk tersebut.
Indera keempat dan kelima adalah indera pengecap dan peraba, yakni lidah dan kulit. Lidah digunakan untuk mengecap rasa, sedangkan kulit untuk merasakan kasar, halus, panas, dingin, dan lain-lain. Kedua indera inipun memiliki keterbatasan dalam memahami fakta yang ada di luar dirinya. Kalau kulit kita dibiasakan dengan benda kasar terus dalam kurun waktu yang lama, maka kepekaan kulit kita untuk memahami benda yang halus juga akan berkurang. Begitu juga dengan kemampuan lidah kita. Dalam kondisi tertentu, misalnya kita terbiasa dengan makanan pedas, maka lidah tidak akan merasakan enaknya makanan yang tidak terasa pedas.

Dengan berbagai penjelasan di atas tidak diragukan lagi bahwa lima indera yang kita miliki semuanya serba terbatas, kondisional, dan seringkali tertipu oleh hal-hal yang sebenarnya jelas namun terinterpretasi secara tidak jelas. Sebenarnya manusia memiliki indera yang lebih hebat lagi dibandingkan dengan panca indera. Itulah indera keenam. Setiap orang memiliki indera keenam yang bisa berfungsi melihat, mendengar, merasakan, dan membau sekaligus. Indera tersebut yakni hati kita. Akan tetapi beberapa potensi fungsi hati di atas tidak pernah mampu kita maksimalkan. Kenapa? karena memang kita tidak pernah melatihnya.
Manusia terlahir sudah memiliki indera keenam yang berfungsi dengan baik. Karena itu seorang bayi dapat melihat ‘dunia dalamnya’. Ia menangis dan tertawa sendiri karena melihat ada ‘dunia lain’. Seorang anak pada masa balitanya bisa melihat dunia jin misalnya. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu, kemampuan indera keenam tersebut menurun drastis. Sebabnya adalah orang tua kita tidak melatih indera keenam kita. Mereka lebih melatih panca indera kita untuk memahami dunia luar. Orangtua kita sangat risau apabila kita tidak bisa menggunakan panca indera kita dengan baik. Namun sebenarnya kemampuan penginderaan hati kita jauh lebih dahsyat.

Hati kita bisa merasakan, melihat, dan mendengar apa yang tidak dirasakan, dilihat, dan didengar oleh panca indera. Kita bisa ‘kenalan’ dengan Allah SWT hanya dengan cara mengaktifkan fungsi hati kita dengan baik. Kita bisa melihat Allah hanya dengan hati kita, bukan dengan mata. Kita bisa merasakan adanya Allah bukan dengan kulit kita, namun dengan hati. Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam Alqur’an akan pentingnya menghidupkan hati, dalam Alqur’an surat Al-Israa’ [17] ayat 72 disebutkan:

“dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya”.

Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan pentingnya mengedepankan fungsi hati sebagai raja bagi kehidupan. Apabila kita menjadikan akal kita sebagai raja dan hati menjadi pengawalnya, maka tunggulah kehancuran hidup kita. Hati kita akan tertutup dengan bercak hitam sehingga kita tidak mampu mengenal Allah. Akal menjadi raja untuk diri kita karena kita membiasakan diri menilai kebahagiaan hidup hanya melalui apa yang dirasakan di dunia ini saja. Yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh lidah dan kulit, semuanya diinterpretasikan di otak (akal). Sehingga kitapun lebih memercayai rsio, logika dan nalar kita untuk mengukur kebahagiaan hidup. Pola ini akan membawa kita pada pola hidup yang mengandalkan akal dan mengesampingkan hati nurani. Banyak orang yang pintar dan cerdas dalam menguasai suatu ilmu namun kering akan ruhani ketuhanan. Mereka tidak mampu melihat sesuatu yang metafisik, sesuatu dibalik segala ciptaan yang tak terbatas. Mereka akhirnya juga tidak mampu mereguk nikmatnya ibadah dan tidak mampu merasakan kehadiran Allah SWT.

Berbeda halnya apabila hati kita yang menjadi raja bagi diri kita. Kita akan bisa merasakan kehadiran Allah SWT dalam hidup kita. Dalam kehidupan sosial, kita juga bisa merasakan apa yang orang lain rasakan (peka). Oleh karena itu jadikanlah hati sebagai raja bagi diri kita.

Orang yang tidak melatih hatinya saat hidup di dunia – sehingga hatinya tertutup – maka mereka akan dibangkitkan oleh Allah SWT di akhirat nanti dalam keadaan buta. Dalam surat Thahaa [20] ayat 124 disebutkan:

“Barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.

Lalu, bagaimanakah cara melatih hati kita untuk bisa ‘melihat’ Allah SWT? Mari kita menuntut ilmu demi mengharap ridha Allah SWT, bekerja karena Allah SWT, sholat, puasa, bersedekah, dzikir, do’a, dan semua bentuk ibadah adalah karena Allah SWT, dengan hati yang tulus dan ikhlas. Insya Allah kita akan bisa melihat Allah SWT di dunia ini dan juga di akhirat kelak. Wallahu a’alam bi showab.

Baca Selengkapnya... - MENGAKTIFKAN INDERA KEENAM UNTUK MELIHAT ALLAH SWT

Senin, 28 Maret 2011

Sejarah Singkat Nabi Muhammad SAW

Keluargaku........, Kisah Beliau Nabi Muhammad SAW harus dan wajib menjadi contoh bagi semua Umat Islam di dunia

Sejak zaman dahulu, Bangsa Arab memiliki kebiasaan menjadikan kejadian besar yang ada sebagai patokan penanggalan.


Peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Gajah pimpinan Abrahah yang berniat menghancurkan Kabah di kota Mekah, dianggap sebagai sebuah peristiwa besar yang layak dijadikan patokan penanggalan.
Di tahun pertama penanggalan Gajah ini, tepatnya tanggal 17 Rabi’ul Awwal (12 Rabi’ul awwal menurut mazhab Sunni) 570 M lahir seorang bayi yang kelak akan mengubah perjalanan sejalah manusia.

Dialah Muhammad putra Abdullah bin Abdul Muthallib.
Sejak lahir, Muhammad telah menunjukkan kelebihan yang khusus. Kehidupannya yang dimulai dengan keyatiman karena ayahnya telah meninggal dunia sebelum beliau lahir, penuh dengan kesusahan.

Kesusahan inilah yang menempa diri Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia besar dan pemuka bagi seluruh umat sepanjang zaman. Empat tahun, Muhammad hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah keluarga Halimah as-Sa’diyah.

Setelah berumur empat tahun dengan berat hati, Halimah melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu. Dua tahun kemudian, Aminah wafat. Muhammad kemudian diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthallib yang amat mencintai dan menghormatinya. Abdul Muthallib yang juga pemuka kaum Quresy telah meramalkan bahwa cucunya ini kelak akan menjadi pemimpin besar bagi umat manusia. Karena itulah, kakek tua yang amat berwibawa ini menghormati dan mencintai Muhammad lebih dari cucu-cucunya yang lain.

Sejak usianya masih belia, Muhammad sudah rajin bekerja, terutama mengembala kambing, karena dengan pekerjaan itu beliau dapat bergaul langsung dengan anak-anak miskin yang tidak biasa menyombongkan diri tidak seperti orang-orang jahiliyyah yang gemar membanggakan kehormatan dan kekayaannya.

Tidaklah mengherankan jika pekerjaan mengembala kambing merupakan salah satu bentuk pendidikan yang di berikan Allah swt. kepada Muhammad calon pemimpin umat manusia di dunia. Muhammad tumbuh besar menjadi pemuda yang dikenal dengan kejujurannya, sehingga beliau mendapat gelar al-Amin yang berarti “orang yang tepercaya”. Bagi masyarakat kota Mekah, tidak ada orang yang bisa dipercaya lebih dari Muhammad al-Amin.

Karena itu, ketika Abu Thalib mengusulkan kepada Khadijah binti Khuwailid untuk menjadikan Muhammad sebagai kepercayaan dalam perniagaannya, usulan itu disambut dengan merta-merta. Pada usia 25 tahun, Muhammad melakukan perjalanan niaga ke Syam dengan membawa barang dagangan milik Khadijah, wanita kaya dari kota Mekah yang amat disegani.
Untuk memudahkan pekerjaan, Khadijah mengirimkan suruhannya bernama Maisarah untuk menyertai dan membantu Muhammad. Kesopanan, kejujuran, dan kepiawaiannya dalam berdagang menarik perhatian Maisarah. Perniagaan ini, membawa keuntungan yang banyak meski dalam berdagang, Muhammad sangat memperhatikan masalah kejujuran. Seluruh kisah perjalanan ini diceritakan oleh Maisarah kepada Khadijah.

Dengan usul Abu Thalib dan sambutan Khadijah, Muhammad datang meminang wanita mulia ini. Perkawinan antara Muhammad al-Amin dan Khadijah disaksikan oleh para malaikat di langit dan di bumi. Perkawinan dengan Khadijah melahirkan enam orang anak di antaranya al-Qaim, Zaenab, Rukayyah, Ummul Kulsum, Fathimah, dan Abdullah. Semua putra beliau meninggal selagi masih kecil.

Sedangkan semua putri beliau sempat memeluk Islam. Ketika umur Muhammad menginjak 35 tahun, banjir dahsyat mengalir dari gunung ke Kabah. Akibatnya, tak satu pun rumah di Mekah selamat dari kerusakan. Dinding Kabah mengalami kerusakan. Pemuka Quraisy memutuskan untuk segera membangun Kabah kembali. Pada saat pemasangan kembali Hajar Aswad, muncul perselisihan di kalangan pemimpin suku.

Masing-masing suku merasa bahwa tidak ada suku yang lain yang pantas melakukan perbuatan yang mulia ini kecuali sukunya sendiri. Karena hal ini, maka pekerjaan konstruksi tertunda lima hari.
Masalah telah mencapai tahap kritis, akhirnya seorang tua yang disegani, Abu Umayyah bin Mughirah Makhzumi, mengumpulkan para pemimpin Quraisy seraya berkata, “Terimalah sebagai wasit orang pertama yang masuk melalui Pintu Shafa.” (buku lain mencatat Bab as-Salam).

Semua menyetujui gagasan ini. Tiba-tiba Muhammad muncul dari pintu. Serempak mereka berseru, “Itu Muhammad, al-Amin. Kita setuju ia menjadi wasit!” Untuk menyelesaikan pertikaian itu, Nabi meminta mereka menyediakan selembar kain. Beliau meletakkan Hajar Aswad di atas kain itu dengan tangannya sendiri, kemudian meminta tiap orang dari empat sesepuh Mekah memegang setiap sudut kain itu.

Ketika Hajar Aswad sudah diangkat ke dekat pilar, Nabi meletakkannya pada tempatnya dengan tangannya sendiri. Dengan cara ini, beliau berhasil mengakhiri pertikaian Quraisy yang hampir pecah menjadi peristiwa berdarah. Demikianlah Muhammad al-Amin menjadi orang orang yang dipercayai oleh seluruh penduduk Mekah ketika itu.

Kisah Beliau Nabi Muhammad SAW harus dan wajib menjadi contoh bagi semua Umat Islam di dunia. Jangan pernah mencemarkan ataupun berpaling daripadanya demi kesejahteraan di dunia & akhirat.Amiin.
Baca Selengkapnya... - Sejarah Singkat Nabi Muhammad SAW

Rabu, 16 Maret 2011

SYAIDINA ALI BIN ABI TALIB KARAMALLAHU WAJHAH (SEJARAH ISLAM)

Keluargaku......., Saiyidina Ali R.A. bukan saja seorang sahabat besar Rasullullah S.A.W. serta yang paling dicintai oleh baginda bahkan beliau juga seorang manusia luar biasa yang memiliki ilmu bagaikan lautan, kefasihan lidahnya yang tiada bandingan sebagai seorang ahli sastera dan pidato, di samping seorang pahlawan yang tiada seorangpun dapat menafikan kehandalannya di antara barisan pahlawan-pahlawan yang ada.
Beliau telah memeluk Islam ketika berumur 8 tahun dan merupakan anak-anak pertama yang memeluk agama Islam. Setengah riwayat menyatakan bahwa beliaulah yang paling dahulu Islam dari Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq R.A. Saiyidina Ali Bin Abu Talib termasuk ahli keluarga Rasulullah S.A.W. sendiri kerana beliau adalah anak saudara baginda yang membesar dalam asuhan dan pemeliharaan Nabi S.A.W. Saiyidina Ali R.A. dilahirkan dalam Kaabah, kiblat yang menjadi kerinduan ummat Islam. Mula-mula yang dilihatnya ialah Muhammad S.A.W. dan Siti Khadijah sedang sembahyang. Ketika beliau ditanyakan kenapa memeluk Islam tanpa lebih dahulu mendapat izin ayahnya, Ali R.A. menjawab, “Apa perlunya aku benmusyawarah dengan ayah demi untuk mengabdi kepada Allah?

Pada mulanya agama Islam hanya berkembang di sekitar lingkungan rumah Rasulullah S.A.W. saja, yakni berkisar pada diri Rasulullah S.A.W., isterinya Siti Khadijah, Ali dan Zaid Bin Haritsah. Pada suatu hari Nabi Muhammad S.A.W. telah mengundang sekalian sanak saudaranya pada satu jamuan di rumahnya. Setelah mereka itu datang maka Rasulullah S.A.W. pun menerangkan kepada mereka itu tentang agama Islam yang dibawanya itu. Maka Abu Lahab memutuskan pembicaraannya serta menyuruh hadirin yang lain supaya meninggalkan jamuan makan itu. Pada keesokan harinya Rasulullah S.A.W. mengadakan pula jamuan makan, dan setelah selesai bensantap makan, maka bersabdalah Rasul S.A.W.

“Saya rasa tak ada seorang yang membawa sesuatu yang lebih mulia daripada yang ku bawa sekarang. Maka siapakah di antara kalian yang akan menolongku? Tatkala mendengarkan rayuan Rasul itu mereka semua marah lalu bangkit untuk meninggalkan rumah itu. Tetapi Ali yang masih lagi belum baligh ketika itu lantas bangun seraya berkata, “Hai Rasulullah, akulah yang akan menolongmu. Aku akan memerangi siapa saja yang akan memerangimu , lalu disambut oleh hadirin dengan tertawa sambil melihat-lihat Abu Talib dan anaknya itu. Kemudian mereka meninggalkan rumah Rasul itu sambil mengejek-ejek.

Saiyidina Ali R.A. pernah berkata, “Aku telah menyembah Allah S.W.T. lima tahun sebelum disembah siapapun dari ummat Muhammad ini. Bahkan beliau adalah salah seorang yang pertama bersembahyang bersama Rasulullah S.A.W. Dalam hubungan ini Anas Bin Malik R.A. pernah berkata, “Muhammad diangkat menjadi Rasulullah pada hari Senin, sedang Ali Bin Abu Talib sudah ikut sembahyang bersama baginda Rasul pada keesokan harinya.

Abu Talib, bapak saudara Rasul adalah seorang yang miskin lagi susah hidupnya serta mempunyai anak yang banyak. Maka dengan maksud untuk meringankan beban Abu Talib itulah atas pikiran. Nabi S.A.W., Saiyidina Abbas Bin Abu Muttalib telah mengambil Ja’afar menjadi tanggungannya sedang Rasul sendiri mengambil Ali. Dengan hal demikian tumbuhlah Ali Bin Abu Talib sebagai seorang pemuda di tengah-tengah keluarga Rasulullah dan langsung memperoleh asuhan dan baginda. Saiyidina Ali R.A. banyak mengambil tabi’at Nabi S.A.W. dan beliaulah yang terdekat sekali hubungannya dengan Rasul serta yang paling dicintainya. Demikian akrabnya Saiyidina Ali R.A. dengan Rasulullah S.A.W. hinggakan beliau hampir-hampir tidak pernah berpisah sejengkal pun dari Rasulullah S.A.W. baik di waktu suka maupun di waktu susah. Pergorbanannya terhadap Islam dan Rasulnya adalah demikian besar sekali dan akan selamanya menjadi contoh keutamaan yang tiada bandingannya dalam sejarah ummat Islam.

Tatkala Rasulullah S.A.W. melakukan hijrah ke Madinah di atas penintah Allah S.W.T. bagi menyelamatkan dirinya dari rencana pihak musyrikin Quraisy yang bertujuan hendak membunuhnya, maka kepada Saiyidina Ali R.A. ditugaskan oleh baginda untuk tidur di tempat tidurnya pada malam yang sangat genting itu. Walaupun tugas itu sangat berat dan berbahaya sekali namun Saiyidina Ali R.A. sebagai sifatnya seorang pejuang yang sejati, telah menyanggupi tugas tersebut dengan hati yang ikhlas dan gembira, karena beliau mengerti bahwa berpeluang menyerahkan nyawanya demi untuk menembus seorang Rasul. Bahkan beliau juga mengerti bahwa tugas yang dilaksanakannya itu akan merupakan pengorbanan yang tidak ada bandingannya di kemudian hani.

Setelah Rasulullah S.A.W. selamat sampai ke Madinah, tidak lama kemudian tibalah pula rombongan Saiyidina Ali R.A. Apakala banyak kaum Muhajinin sampai di kota Madinah itu, Rasullullah S.A.W. telah mengakrabkan antara golongan Muhajirin dengan golongan Ansar. Tetapi anehnya dalam hubungan ini Rasulullah tidak mengakrabkan Saiyidina Ali R.A. dengan siapapun juga, hanya baginda berkata kepada Saiyidina Ali, demikian sabdanya, “Wahai Ali, engkau adalah saudaraku di dunia dan saudaraku juga di Akhirat". Demikian jelaslah bahwa baginda telah mengakrabkan Saiyidina Ali dengan diri baginda sendiri. Kesayangan Rasulullah S.A.W. terbukti dengan menjodohkan Saiyidina Ali R.A. dengan puteri yang paling disayanginya yaitu Fatimah AzZahrah, seorang wanita yang paling utama di syurga, padahal sebelum itu Fatimah sudah pernah dilamar oleh Saiyidina Abu Bakar dan Saiyidina Umar Al Khattab R.A. tetapi Rasul menolaknya dengan lemah lembut dan dengan cara yang bijaksana.

Sebagai seorang yang gagah berani dan sahabat yang paling disayangi baginda Rasul, Saiyidina Ali R.A. tidak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan baik besar maupun kecil yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W. Beliau telah melakukan peranan yang penting dalam Peperangan Badar yang terkenal itu. Ketika itu beliau merupakan seorang pemuda yang gagah dan tampan masih berumur 20 tahunan. Dalam peperangan itulah untuk pertama kalinya Rasulullah S.A.W. menyerahkan panji-panji peperangan kepada Saiyidina Ali R.A. dimana beliau telah menjalankan tugasnya dalam peperangan tersebut dengan sangat cemerlang. Setelah peperangan selesai para sahabat tidak menemui Nabi S.A.W. Dalam keadaan mereka tertanya-tanya tentang itu tiba-tiba muncul Rasulullah S.A.W. bersama Saiyidina Ali R.A. seraya baginda bersabda, “Saya sebenarnya ada di belakang kalian sedang merawat perut Ali yang luka". Dari peristiwa ini dapatlah dilihat betapa besarnya kecintaan baginda terhadap Saiyidina Ali R.A. dan bagaimana pula besarnya pengorbanan Ali R.A. dalam menegakkan kemuliaan Agama Islam.

Dalam berbagai peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W., Saiyidina Ali R.A. tetap berada di samping baginda. Pada suatu ketika dalam Perang Tabuk, tiba-tiba Rasulullah S.A.W. tidak membenarkan Saiyidina Ali R.A. untuk menyertai baginda hingga sikap Rasulullah S.A.W. itu telah dijadikan modal fitnah oleh pihak musuh-musuh Islam serta kaum munafik konon baginda tidak senang hati terhadap Saiyidina Ali R.A. Jika tidak demikian mengapa baginda mencegahnya ikut perang. Sebagai seorang yang benar dan mencintai kebenaran Saiyidina Ali R.A. kurang senang mendengar desas-desus yang kurang menyenangkan itu lantas beliau terus menjumpai Rasul untuk meminta penjelasan. Untuk menghilangkan keraguan beliau itu, Rasul lalu bersabda kepadanya, “Tidakkah engkau rela hai Ali, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa ?” Mendengankan kata-kata Rasulullah s.a.w yang menyejukkan jiwanya itu maka barulah puas Saiyidina Ali R.A.

Perkataan Rasul itu telah memperlihatkan betapa besarnya kecintaan dan penghormatan baginda terhadap dirinya.

Dalam Perang Khaibar pula di mana sebuah ibu kota kaum Yahudi sulit untuk ditaklukkan oleh tentara Islam, Saiyidina Ali R.A. telah memainkan peranannya yang penting. Pada mulanya pihak Islam gagal untuk menaklukkan kota tersebut sekalipun telah dilakukan pengepungan beberapa hari lamanya. Dalam detik-detik yang sukar itulah akhirnya Rasulullah S.A.W. bersabda “Saya akan menyerahkan panji-panji peperangan besok pada seorang lelaki yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai oleh Allah dan RasulNya”.

Semua panglima pasukan masing-masing mengharapkan agar dirinya akan diserahkan panji-panji tersebut, karena setiap mereka bercita-cita akan mendapatkan kemuliaan yang begitu besar sebagai seorang yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai pula oleh Allah dan RasulNya. Pada keesokan harinya, setelah selesai sembahyang subuh Rasulullah S.A.W. lantas mencari-cari Saiyidina Ali R.A. Nyatalah bahwa Saiyidina Ali R.A. tidak ada di situ karena ketika itu Ali R.A. mengidap sakit mata. Kemudian bersabdalah Rasul “Panggilkan Ali ke mari untuk menjumpai saya", Saiyidina Ali R.A. yang sedang sakit kedua matanya itu lalu datang mengadap Rasulullah S.A.W. seraya baginda pun meludah kepada mata beliau yang sakit itu. Maka dengan serta merta saja sembuhlah mata beliau. Kemudian Rasul pun menyerahkan panji-panji kepada Saiyidina Ali R.A. Maka benteng yang sudah berhari-hari tidak dapat ditembus itu akhirnya dapat dikalahkan di bawah pimpinan panglima Ali Bin Abu Talib R.A.

Satu lagi peperangan di mana Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A. memperlihatkan kegagahan dan keberaniannya yang luar biasa yaitu tatkala saat Perang Khandak atau Ahzab. Perang ini adalah antara pihak Islam dengan kaum musyrik Mekah yang mendapat bantuan dari pihak-pihak Arab yang lain serta orang-orang Yahudi. Orang-orang Islam telah menggali parit-parit di sekeliling kota Madinah sebagai jalan untuk membendung kemarahan pihak musuh saat memasukinya. Jumlah pihak musuh kira-kira 10,000 orang tetapi mereka tidak dapat masuk karena terhalang oleh parit-parit. Namun begitu mereka terus mengepung kota itu selama 15 hari lamanya. Kemudian Allah S.W.T. turunkan angin ribut dari tentera Allah yang tak kelihatan memukul dan menerbangkan kemah-kemah serta alat perang musuh sehingga mereka pun mengundurkan diri dengan penuh kekecewaan.

Semasa peperangan inilah diriwayatkan bahwa beberapa pahlawan musyrik Quraisy telah dapat menyeberangi parit dengan mengendarai kuda. Di antara mereka ialah Amru Bin Abdi Wid, Ikrimah Bin Abu Jahal dan Dhiraar Ibnul Khattab. Apakala mereka itu telah berada di seberang parit, tiba-tiba Amru Bin Wid telah meminta lawan untuk mengadu kekuatan dengan pihak pahlawan-pahlawan Islam. Dia menantang seraya berkata, “Siapa di antara kalian yang berani melawan dengan aku, silakan! Tantangan itu lantas disambut oleh Saiyidina Ali R.A. yang kemudiannya terus meminta izin dari Rasulullah S.A.W. untuk melawan pahlawan musyrik itu. Kata Ali R.A., “Saya akan melawan dia, ya Nabi Allah, Izinkanlah saya. Tetapi Rasulullah S.A.W. telah menahannya dengan sabdanya, “Duduklah engkau hai Ali! Tidakkah engkau tahu dia Amru".

Amru kemudian menantang lagi berulang-ulang hingga dua kali. Setiap ia menantang, Saiyidina Ali R.A. telah berdiri menyahutnya tetapi Rasulullah senantiasa menyuruhnya duduk sambil mengingatkan bahwa lawannya itu bukan padannya karena Amru itu memang terkenal gagah lagi perkasa. Namun begitu Saiyidina Ali R.A. tetap juga mengatakan, “Sekalipun dia itu Amru, hai Nabi Allah, saya tidak takut melawannya. Izinkanlah saya menemuinya. Akhinnya Rasulullah S.A.W. mengizinkannya untuk melawan musuh yang keadaan orangnya lebih tua, lebih besar lagi lebih berpengalaman dari dirinya itu. Sebelum Saiyidina Ali R.A. pergi mendapatkan musuhnya yang menanti itu, Rasulullah S.A.W. telah membekalinya dengan pedangnya lalu kemudian berdoa ke hadrat Allah S.W.T. untuk keselamatan Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A.

Tidak lama kemudian tampillah Saiyidina Ali R.A. ke hadapan musuh. Manakala Amru melihatnya dia tidak dapat mengenalinya kerana muka dan kepala Saiyidina Ali R.A. bertopeng besi lalu ditanyainya:

Siapa engkau, hai pahlawan?

Jawabnya, “Ali!

Tanya Amru lagi, “Ali, anak Abdul Manaf?

Jawab Ali R.A. “Ali, anak Abu Talib

Mendengar nama itu Amru enggan akan melawannya seraya berkata untuk mengecilkan kehandalan Ali R.A. “Wahai anak saudanaku! Lebih baik orang lain saja engkau suruh melawan aku. Panggillah paman-pamanmu yang lebih kuat dari padamu. Aku benci menumpahkan darahmu, karena aku memandang ayahmu seorang sahabat baikku.

Saiyidina Ali R.A. lalu menjawab, “Tetapi aku, demi Allah, tak benci menumpahkan darahmu". Demi mendengarkan jawaban itu maka marahlah Amru dan ia hendak menyerangnya. Tetapi Saiyidina Ali R.A. lalu berkata, “Bagaimana aku akan bertempur denganmu padahal engkau di atas kuda. Turunlah ke mari sama-sama aku di bawah.

Mendengar itu Amru turun dari kudanya, dihunus pedangnya dan untuk menunjukkan kegarangnya disembelih kudanya dan dicencangnya muka kuda itu tak lari. Kemudian ía marah di hadapan Saiyidina Ali R.A. yang dibalas pula olehnya dengan mengacungkan perisainya yang terbuat dari kulit. Amru telah memotongnya, perisainya robek dan pedangnya pun melekat di perisai tersebut dan mengenai kepala Saiyidina Ali R.A. Maka Saiyidina Ali R.A. pun membalas menebas bahu Amru. Ia lalu tersungkur rebah serta mati di seketika. Saiyidina Ali R.A. lantas meneriakkan takbir, “Allahu Akbar" yang disambut pula dengan teriakkan takbir yang bergemuruh di angkasa oleh kaum Muslimin yang menyasikannya, sebagai tanda beryukurnya atas kemenangan mereka. Dan dengan kematian Amru itu kawan-kawannya yang lain berhamburan lari mengundurkan diri.

Rasulullah S.A.W. selalu memilih Saiyidina Ali R.A. untuk melakukan tugas dalam pekerjaan-pekerjaan yang amat berat, yang memerlukan keberanian yang luar biasa serta ketabahan yang besar. Pada suatu masa, Rasulullah S.A.W. telah mengutus pahlawan Islam Khalid Bin Walid ke negeri Yaman untuk melaksanakan tugas sebagai pemenintah dan mubaligh Islam di negeri itu. Setelah bekerja selama enam bulan ternyata Khalid tidak berjaya memperoleh hasil yang diharapkan walaupun setelah bekerja keras. Kemudian Rasulullah S.A.W. pun mengutus Saiyidina Ali R.A. untuk menggantikan kedudukan Khalid Bin Walid sebagai mubaligh dan pemenintah di sana. Penduduk Yaman mendengar Saiyidina Ali R.A. yang telah mereka kenal Sebagai Harimau Padang Pasir itu ditugaskan sebagai pemerintah yang baru, maka bergegaslah mereka berkumpul hingga akhirnya Saiyidina Ali R.A. dapat melakukan sholat subuh bersama-sama mereka.

Setelah selesai sholat subuh, Saiyidina Ali R.A. pun membacakan surat dakwah di hadapan para hadirin. Maka seluruh penduduk dan kaum Hamdan sekeliannya memeluk Islam pada hari itu. Dalam laporan yang dikirimkan oleh beliau kepada Rasulullah S.A.W. Saiyidina Ali R.A. telah mengisahkan peristiwa yang telah terjadi itu. Setelah Rasul S.A.W. membaca laporan tersebut segeralah baginda sujud menyembah Allah sebagai tanda syukur atas peristiwa itu seraya bersabda, “Sejahteralah penduduk Hamdan".

Selaku pemerintah dan mubaligh di Yaman, Saiyidina Ali R.A. juga telah diperintahkan untuk menjadi hakim dalam bidang pengadilan. Oleh kerena beliau merasa dirinya kurang ahli dalam bidang pengadilan itu maka dengan terus-terang dan ikhlas beliau berkata kepada Rasul S.A.W., “Ya Rasul Allah, saya tidak mengerti dan tidak mempunyai keahlian yang cukup mengenai hal pengadilan ini".

Mendengar perkataan Saiyidina Ali R.A. itu segeralah Rasulullah S.A.W. menyapu dada beliau dengan tangan Rasulullah S.A.W. sendiri sambil bersabda, “Ya Allah, bukalah dada Ali untuk menerima ilmu dan lapangkanlah ucapannya dalam soal pengadilan”. Adalah diriwayatkan bahwa berkat doa Nabi Muhammad S.A.W. itu Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A. menjadi seorang hakim yang bijak lagi adil. Baik di zaman Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq R.A. maupun di zaman Saiyidina Umar Al Khattab R.A. selalulah Saiyidina Ali R.A. diajak bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu masalah yang dihadapi oleh Khalifah-Khalifah itu. Bahkan Saiyidina Umar Al Khattab R.A. biasanya enggan memutuskan sesuatu keputusan sebelum lebih dahulu Saiyidina Ali R.A. diajaknya berunding.

Demikianlah beberapa kisah riwayat tentang peranan yang pernah dilakukan oleh Saiyidina Ali Bin Abu Talib di zaman hidupnya Rasulullah S.A.W. Ketika Rasulullah S.A.W. wafat, Saiyidina Ali R.A. tidak mempunyai kesempatan untuk menyertai pertemuan para sahabat dan golongan Muhajirin dan Ansar di Balai Bani Saidah hingga terpilihnya Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq sebagai Khalifah. Sebabnya ialah ketika itu beliau sibuk menguruskan jenazah Rasulullah S.A.W. Pada hari yang penuh duka cita itu, beliau sama sekali tidak menghiraukan permusyawaratan yang berlangsung di Balai Bani Saidah itu kerana beliau sibuk dengan tugas-tugas memakamkan jenazah Rasulullah S.A.W. serta menenteramkan sekelian keluarga Rasul S.A.W.

Permusyawaratan di Balai Bani Saidah hampir-hampir saja menimbulkan keadaan yang kacau tetapi akhirnya dapat ditenteramkan dengan terpilihnya Saiyidina Abu Bakar R.A. sebagai Khalifah pertama sesudah Rasulullah S.A.W. Pada mulanya Saiyidina Ali R.A. enggan memberikan persetujuannya terhadap pemilihan Abu Bakar Al-Siddiq R.A. sebagai Khalifah, bukan kerena benci atau kurang senang terhadap Saiyidina Abu Bakar R.A. bahkan kerena rasa hati beliau yang sedang remuk redam disebabkan hilangnya Rasulullah S.A.W. Enam bulan kemudian setelah isteri beliau Siti Fatimah meninggal dunia, maka barulah Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A. memberikan persetujuannya secara rasmi terhadap pengangkatan Saiyidina Abu Bakar R.A. sebagai Khalifah. Saiyidina Abu Bakar R.A. pun selaku pemerintah ummat yang agung, tidak pernah meninggalkan Saiyidina Ali R.A. di dalam permusyawaratan penting.

Apakala Saiyidina Umar Al Khattab menjadi Khalifah yang kedua, Saiyidina Ali R.A. tetap memperoleh kemuliaan dan penghormatan dan Saiyidina Umar R.A. seperti apa yang dinikmatinya semasa pemenintah Abu Bakar R.A. Walaupun diketahui bahwa Umar Al Khattab terkenal sebagai sahabat yang sangat ahli dan bijak dalam bidang hukum, namun baginda sering minta bantuan kepada Saiyidina Ali R.A. di dalam menyelesaikan beberapa hal yang sulit-sulit bahkan pernah diriwayatkan orang bahwa Saiyidina Umar Al Khattab R.A. tidak suka merundingkan soal-soal yang sulit tanpa dihadiri oleh Saiyidina Ali Bin Abu Talib.

Setelah wafat Saiyidina Umar Al Khattab jabatan Khalifah akhirnya jatuh pula ke tangan Saiyidina Usman Bin Affa’n R.A. Namun begitu Saiyidina Ali R.A. tetap memberikan persetujuannya serta ketaatannya kepada Khalifah Usman R.A. sekalipun dirinya juga bercita-cita agar terpilih sebagai Khalifah.

Saiyidina Ali R.A. akhinnya telah dipilih kemudiannya sebagai Khalifah selepas kewafatan Khalifah Usman R.A. sedang ketika itu sebagian besar para sahabat Rasulullah S.A.W. sudah berserak di pelosok kota-kota di seluruh wilayah Islam. Yang masih tinggal di Madinah hanya sebahagian kecil saja.

Setelah jabatan Khalifah jatuh kepadanya maka baharulah Saiyidina Ali R.A. mencoba bertindak untuk membawa garis politik seperti yang pernah dijalankan oleh Rasulullah S.A.W., Khalifah Abu Bakar R.A. dan Khalifah Umar Al Khattab R.A. Tetapi keadaan masyarakat dan ummat sudah jauh berubah disebabkan perkembangan ekonomi dan pembangunan yang diakibatkan oleh perluasan kekuasaan Islam. Cita-cita Saiyidina Ali R.A. untuk membawa kembali dasar pemerintahan ummat sebagaimana zaman Rasulullah dan Saiyidina Abu Bakan R.A. dan Umar R.A. telah menghadapi rintangan dari pihak-pihak yang bertentangan.Disebabkan adanya golongan yang keras menentang sikapnya itu seperti Muawiyah Bin Abu Sufyan dan pembantunya Amru Bin Al As maka tenjadilah satu permusuhan yang sengit antara dua golongan itu. Satu pertikaian yang panjang yang mengakibatkan pertumpahan darah di antara sesama ummat Islam. Muawiyah berkeras enggan mengakui Saiyidina Ali Bin Abu Talib sebagai Khalifah serta menuntut baginda mengenakan hukuman terhadap orang-orang yang bertanggungjawab dalam pembunuhan Saiyidina Usman R.A. Sedang Saiyidina Ali R.A. pula terlebih dahulu telah memecat Muawiyah sebagai gabernur Syam dan juga tokoh-tokoh yang pernah dilantik oleh Khalifah Usman R.A. atas dasar kekeluargaan. Akibatnya maka berlakulah peperangan yang berkepanjangan antara pihak Khalifah Ali R.A. dengan pihak penyokong Muawiyah Bin Abu Sufyan yang terdiri dari penduduk negeri Syam. Kesudahan dari pertikaian yang panjang itu Saiyidina Ali Bin Abu Talib akhirnya mati terbunuh oleh pengikut golongan Khawarij.

Baca Selengkapnya... - SYAIDINA ALI BIN ABI TALIB KARAMALLAHU WAJHAH (SEJARAH ISLAM)

PUSAT INFO MARITIM INDONESIA

DAFTAR LITERATUR PELAJARAN ISLAM

01. 33 FAKTOR YANG MEMBUAHKAN KEKHUSYU'AN DALAM SHALAT
........................................................................................................
02. ADAB BERDO'A
........................................................................................................
03. Adab-Adab Wajib dalam Berpuasa
........................................................................................................
04. AGAR ANDA MUDAH BANGUN UNTUK SHALAT SUBUH
........................................................................................................
05. Akhirnya Saya berhasil Mematikan Rokok
........................................................................................................
06. AMALAN-AMALAN DI BULAN SUCI RAMADHAN
........................................................................................................
07. Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?
........................................................................................................
08. Bagaimana Cara Menyambut Ramadhan
........................................................................................................
09. Bagaimana Cara Menyambut Ramadhan
........................................................................................................
10. BAHAYA KEMAKSIATAN
........................................................................................................
11. BAHAYA MEROKOK
........................................................................................................
12. BAITI JANNATI
........................................................................................................
13. Beberapa Kekeliruan Kaum Muslimin Seputar Lailatul Qadar
........................................................................................................
14. Beberapa Kesalahan Dalam Bersuci
........................................................................................................
15. Beberapa Kesalahan Dalam Shalat
........................................................................................................
16. CARA PENGOBATAN DENGAN AL QURAN
........................................................................................................
17. CUKUPLAH KEMATIAN SEBAGAI PERINGATAN
........................................................................................................
18. DAHSYATNYA KEKUATAN DO'A
........................................................................................................
19. DAMPAK NEGATIF KEMAKSIATAN DAN DOSA
........................................................................................................
20. DO'A DAN DZIKIR PILIHAN
........................................................................................................
21. DO'A SENJATA ORANG MUKMIN
........................................................................................................
22. DOSA-DOSA YANG DIANGGAP BIASA
........................................................................................................
23. DZIKIR SETELAH SHALAT
........................................................................................................
24. FAEDAH-FAEDAH SAKIT
........................................................................................................
25. Fatwa Tentang Hakikat Sihir
........................................................................................................
26. FATWA TENTANG TATA CARA SHALAT WITIR
........................................................................................................
27. FATWA-FATWA PENTING TENTANG SHALAT
........................................................................................................
28. FATWA-FATWA RAMADHAN
........................................................................................................
29. Hakikat Jin, Pengaruh Dan Cara Pengobatan Kesurupan
........................................................................................................
30. Hal-Hal Yang Diperbolehkan dan Dilarang Dalam Penyelenggaraan Jenazah
........................................................................................................
31. Hal-Hal Yang Diwajibkan dalam Shalat
........................................................................................................
32. HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN DOSA
........................................................................................................
33. Hal-Hal Yang Mewajibkan Mandi
........................................................................................................
34. Haramnya Sihir Pengasih dan Pembenci
........................................................................................................
35. HUKUM MEROKOK DAN MENJUALNYA
........................................................................................................
36. HUKUM ORANG YANG MENGINGKARI ADANYA JIN
........................................................................................................
37. Hukum Perdukunan dan Mendatangi Para dukun
........................................................................................................
38. Hukum Shalat dan Keutamaannya
........................................................................................................
39. HUKUM-HUKUM JENAZAH
........................................................................................................
40. Hukum-Hukum Shalat
........................................................................................................
41. KAIDAH-KAIDAH PENGOBATAN ISLAMY
........................................................................................................
42. Kedudukan Puasa Ramadhan
........................................................................................................
43. KEHIDUPAN SEHARI-HARI YANG ISLAMI
........................................................................................................
44. KEMBALI KEPADA RAMADHAN KAUM SALAF
........................................................................................................
45. Keutamaan Bersegera Menunaikan Shalat
........................................................................................................
46. Keutamaan Ibadah di Bulan Ramadhan
........................................................................................................
47. Keutamaan Ibadah di Bulan Ramadhan
........................................................................................................
48. Keutamaan Qiyam Ramadhan
........................................................................................................
49. Keutamaan Ramadhan
........................................................................................................
50. Keutamaan Shalat Malam
........................................................................................................
51. Keutamaan Shalat Subuh
........................................................................................................
52. KHUSUK DALAM SHALAT
........................................................................................................
53. KHUSYUK dan TUMAKNINAH DALAM SHALAT
........................................................................................................
54. KIAT-KIAT MENGHINDARI BENCANA
........................................................................................................
55. KUMPULAN DO'A DALAM ALQUR'AN DAN HADITS
........................................................................................................
56. LORONG-LORONG SYETAN UNTUK MENYESATKAN MANUSIA
........................................................................................................
57. MAAF...... DILARANG MEROKOK
........................................................................................................
58. Makna Hadits: Tiga Hal Yang Mengikuti Jenazah
........................................................................................................
59. MENGHADIRKAN HATI DALAM SHALAT
........................................................................................................
60. MENGINGAT KEMATIAN & MENYIAPKAN DIRI UNTUK MENGHADAPINYA
........................................................................................................
61. MENGINGAT KEMATIAN & ZUHUD TERHADAP DUNIA
........................................................................................................
62. MENJAGA LISAN
........................................................................................................
63. Menyambut Bulan Mulia
........................................................................................................
64. Menyentuh Perempuan dan Mencium Istri, Apakah Membatalkan Wudhu?
........................................................................................................
65. Meraih Kemenangan di Bulan Ramadhan
........................................................................................................
66. Muhasabah ( Introspeksi diri )
........................................................................................................
67. NASEHAT UNTUK SUAMI ISTRI
........................................................................................................
68. PAGAR DIRI
........................................................................................................
69. Peringatan Bagi yang Melalaikan Shalat Subuh
........................................................................................................
70. PINTU-PINTU PAHALA DAN PENGHAPUS DOSA
........................................................................................................
71. Puasa Anak Kecil di Bulan Ramadhan
........................................................................................................
72. Puasa ‘Asyura
........................................................................................................
73. Ramadhan Bulan Produktifitas
........................................................................................................
74. Ramadhan dan Taubat Kepada Allah
........................................................................................................
75. RENUNGAN PUASA
........................................................................................................
76. Renungan Seputar Shalat Tarawih
........................................................................................................
77. RENUNGAN TENTANG KEMATIAN
........................................................................................................
78. Ringkasan Hukum-Hukum Seputar Puasa
........................................................................................................
79. RISALAH RAMADHAN
........................................................................................................
80. Serial Bimbingan & Penyuluhan Islam
........................................................................................................
81. Shalat Bagi Orang Pemilik Udzur & Shalat Khauf
........................................................................................................
82. Shalat Berjamaah
........................................................................................................
83. Sifat Shalat Nabi dari Takbir Hingga Salam
........................................................................................................
84. SIKSA KUBUR DAN KENIKMATANNYA
........................................................................................................
85. SUAMI TIDAK SHALAT
........................................................................................................
86. TANDA-TANDA HUSNUL KHATIMAH DAN SUUL KHATIMAH
........................................................................................................
87. Tata Cara Shalat Tarawih dan Witir
........................................................................................................
88. Tata Cara Wudhu Yang Sempurna
........................................................................................................
89. TUNTUNAN THAHARAH DAN SHALAT
........................................................................................................
90. Urgensi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
........................................................................................................
91. WARA'
........................................................................................................
92. JUDUL
........................................................................................................
93. JUDUL
........................................................................................................
94. JUDUL
........................................................................................................
95. JUDUL
........................................................................................................
96. JUDUL
........................................................................................................
97. JUDUL
........................................................................................................
98. JUDUL
........................................................................................................
99. JUDUL
........................................................................................................
100. JUDUL
........................................................................................................
101. JUDUL
........................................................................................................
102. JUDUL
........................................................................................................
103. JUDUL
........................................................................................................
104. JUDUL
........................................................................................................
105. JUDUL
........................................................................................................
106. JUDUL
........................................................................................................
107. JUDUL
........................................................................................................
108. JUDUL
........................................................................................................
109. JUDUL
........................................................................................................
110. JUDUL
........................................................................................................
111. JUDUL
........................................................................................................
112. JUDUL
........................................................................................................
113. JUDUL
........................................................................................................
114. JUDUL
........................................................................................................
115. JUDUL
........................................................................................................
116. JUDUL
........................................................................................................
117. JUDUL
........................................................................................................
118. JUDUL
........................................................................................................
119. JUDUL
........................................................................................................
120. JUDUL
........................................................................................................
121. JUDUL
........................................................................................................
122. JUDUL
........................................................................................................
123. JUDUL
........................................................................................................
124. JUDUL
........................................................................................................
125. JUDUL
........................................................................................................

LINK ISLAM

01. AL QUR'AN ON-LINE
........................................................................................................
02. DAFTAR ALAMAT LEMBAGA ISLAM
........................................................................................................
03. ISLAM IS MY RELIGION
........................................................................................................
04. ISLAMIC BROADCASTING FORUM
........................................................................................................
05. KABAR ISLAM
........................................................................................................
06. MEDIA ISLAM
........................................................................................................
07. JUDUL
........................................................................................................
08. JUDUL
........................................................................................................
09. JUDUL
........................................................................................................
10. JUDUL
........................................................................................................
11. JUDUL
........................................................................................................
12. JUDUL
........................................................................................................
13. JUDUL
........................................................................................................
14. JUDUL
........................................................................................................
15. JUDUL
........................................................................................................
16. JUDUL
.....................................................................
17. JUDUL
........................................................................................................
18. JUDUL
........................................................................................................
19. JUDUL
........................................................................................................
20. JUDUL
........................................................................................................
21. JUDUL
........................................................................................................
22. JUDUL
........................................................................................................
23. JUDUL
........................................................................................................
24. JUDUL
........................................................................................................
25. JUDUL
........................................................................................................
26. JUDUL
........................................................................................................
27. JUDUL
........................................................................................................
28. JUDUL
........................................................................................................
29. JUDUL
........................................................................................................
30. JUDUL
........................................................................................................
31. JUDUL
........................................................................................................
32. JUDUL
........................................................................................................
33. JUDUL
........................................................................................................
34. JUDUL
........................................................................................................
35. JUDUL
........................................................................................................
36. JUDUL
........................................................................................................
37. JUDUL
........................................................................................................
38. JUDUL
........................................................................................................
39. JUDUL
........................................................................................................
40. JUDUL
........................................................................................................
41. JUDUL
........................................................................................................
42. JUDUL
........................................................................................................
43. JUDUL
........................................................................................................
44. JUDUL
........................................................................................................
45. JUDUL
........................................................................................................
46. JUDUL
........................................................................................................
47. JUDUL
........................................................................................................
48. JUDUL
........................................................................................................
49. JUDUL
........................................................................................................
50. JUDUL
........................................................................................................
51. JUDUL
........................................................................................................
52. JUDUL
........................................................................................................
53. JUDUL
........................................................................................................
54. JUDUL
........................................................................................................
55. JUDUL
........................................................................................................
56. JUDUL
........................................................................................................
57. JUDUL
........................................................................................................
58. JUDUL
........................................................................................................
59. JUDUL
.....................................................................
60. JUDUL
........................................................................................................
61. JUDUL
........................................................................................................
62. JUDUL
........................................................................................................
63. JUDUL
........................................................................................................
64. JUDUL
........................................................................................................
65. JUDUL
........................................................................................................